Penulis: Diky Fahillah, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.
Tak semua luka datang dari bentakan atau pukulan. Beberapa justru tumbuh dalam diam, disimpan bertahun-tahun tanpa suara. Seperti yang dirasakan Dendro seorang anak laki-laki yang tumbuh sehat, berprestasi, dan tak pernah membuat masalah. Tapi di matanya, selalu ada kekosongan kecil yang tak bisa dijelaskan. Itu bukan karena ayahnya tidak ada. Justru sebaliknya sang ayah selalu ada di rumah. Tapi kehadirannya tak pernah disertai pelukan, pujian, atau kalimat sederhana yang selama ini paling ia rindukan: “Aku bangga padamu.”
Hadir Tapi Tak Pernah Benar-Benar Ada
Banyak orang menyamakan kehadiran fisik dengan kehadiran peran. Tapi Dendro tahu, tidak semua orang yang tinggal serumah benar-benar bisa disebut sebagai “keluarga”. Ayahnya ada di rumah. Makan bersama. Kadang duduk menonton berita di ruang tengah. Tapi sejak kecil, Dendro merasa ada yang kosong seperti dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
“Ayahku bukan pemarah, bukan orang kasar. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti tidak pernah cukup di matanya,” katanya.
Setiap prestasi yang ia capai selalu disambut dengan komentar datar. Ketika ia mendapat nilai bagus, Ayahnya hanya mengangguk sambil berkata, “Ya, memang tugas kamu belajar.” Saat ia terpilih jadi ketua kelas, sang Ayah bahkan tidak menoleh.
Tak ada ucapan selamat, tak ada tepukan di bahu, apalagi pelukan. Dendro tumbuh dengan tubuh yang sehat, tapi jiwanya seperti terus mencari sesuatu: pengakuan.
Mencari Pengakuan dari Sosok yang Dingin
Dendro bukan anak pembangkang. Justru sebaliknya ia selalu berusaha menjadi anak yang “baik”. Ia rajin belajar, tidak neko-neko, membantu ibunya di rumah, dan selalu menjaga nilai-nilai sopan santun. Tapi tak peduli seberapa keras ia berusaha, ayahnya tetap saja dingin.
“Yang paling sakit itu bukan karena dimarahi. Tapi karena diabaikan,” ujar Dendro pelan.
Ia ingat jelas ketika ikut lomba membaca puisi di tingkat sekolah. Ibunya hadir, membawa kamera kecil untuk merekam. Tapi sang ayah memilih tetap di rumah. Alasannya: “Lomba anak-anak, nggak penting-penting amat.”
Dendro tidak berkata apa-apa hari itu. Tapi sejak saat itu, ia berhenti berharap ayahnya hadir di acara sekolah. Berhenti mengundang. Berhenti menyebut namanya dalam tulisan biodata.
Namun, diam-diam, ia tetap menanti. Seperti menunggu pintu yang tak pernah dibuka.
Membungkus Dendam dalam Diam
Dendro tidak pernah melawan. Tapi rasa kecewanya tumbuh menjadi diam yang dalam. Ia tidak menangis, tidak memberontak, hanya mengubur semuanya sambil terus membuktikan bahwa ia layak dipuji.
Ketika teman-temannya mulai bandel di usia remaja, Dendro justru semakin tekun. Ia sibuk dengan organisasi sekolah, lomba karya tulis, dan belajar hingga larut malam. Semua itu ia lakukan bukan semata karena ambisi, tapi karena harapan kecil: mungkin, suatu saat, Ayahnya akan melihat dan berkata, “Aku bangga padamu.”
Tapi harapan itu terus kandas
“Paling tidak, satu kali saja. Aku cuma ingin dengar itu sekali saja,” bisiknya.
Sayangnya, kalimat itu tak pernah datang. Dan luka yang awalnya samar kini berubah menjadi dinding tak kasat mata antara mereka.
Jarak yang Semakin Lebar
Setelah lulus SMA, Dendro memutuskan merantau untuk kuliah. Bukan hanya karena kampus impian, tapi juga karena ia ingin menjauh sejenak. Jauh dari perasaan tidak dianggap. Jauh dari atmosfer yang membuatnya terus merasa kecil.
Di kota baru, ia mulai menemukan versi dirinya yang berbeda. Ia bertemu teman-teman baru, dosen yang memuji tulisannya, bahkan ketua himpunan yang menyemangatinya saat gagal. Semua itu pelan-pelan mulai mengisi ruang kosong di hatinya.
“Aku jadi sadar bahwa aku bisa tumbuh tanpa pengakuan dari Ayah. Bahwa nilai diriku nggak ditentukan dari siapa yang tidak bisa mencintaiku dengan utuh.”
Namun bukan berarti ia sepenuhnya sembuh. Kadang, saat melihat teman-temannya menelepon ayah mereka dan mendengar tawa dari seberang, rasa perih itu kembali datang. Pelan, tapi menyengat.
Mengubah Dendam Jadi Pemahaman
Suatu hari, ibunya menelepon. Ia bercerita bahwa ayahnya jatuh sakit, tidak parah, tapi cukup melemahkan. Dendro pulang beberapa hari kemudian. Di rumah, ia melihat ayahnya terbaring diam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka duduk di ruang yang sama tanpa keheningan yang menghakimi.
Ibunya sempat berkata, “Ayahmu sering baca tulisanmu diam-diam. Dia nyimpen semua potongan berita tentang kamu.”
Dendro terdiam. Antara percaya dan tidak. “Kalau memang bangga, kenapa tidak pernah bilang?” tanyanya dalam hati.
Hari itu, ia tidak menuntut jawaban. Ia hanya duduk, menyeduh teh, dan menaruhnya di meja dekat ayahnya. Tak banyak kata, tapi untuk pertama kalinya, ada sedikit celah di dinding yang selama ini membisu.
Dendro sadar, memaafkan bukan berarti melupakan luka. Tapi menerima bahwa orang tuanya adalah manusia dengan segala keterbatasan, trauma, dan cara mencinta yang berbeda.
Makna Keluarga yang Lebih Luas
Kini, di semester akhir kuliahnya, Dendro sering diminta berbicara di depan mahasiswa baru. Ia bicara tentang pengembangan diri, kepemimpinan, dan sesekali… tentang keluarga.
“Aku bilang ke mereka, keluarga itu bukan soal siapa yang ada di Kartu Keluarga. Tapi siapa yang tidak pernah berhenti berharap kamu pulang.”
Ia juga mulai menulis tentang pengalamannya bukan untuk menjelekkan, tapi untuk menyembuhkan. Karena di balik luka masa kecilnya, ia tahu bahwa dirinya tidak sendiri. Banyak anak tumbuh dengan orang tua yang hadir secara fisik, tapi absen secara emosional.
“Dan mereka semua butuh tahu: kamu tetap berharga, meski tidak pernah dibilang hebat. Kamu tetap cukup, meski tidak pernah dipuji.”
Menjadi Ayah yang Berbeda
Dendro belum tahu apakah ia siap menjadi orang tua di masa depan. Tapi jika nanti itu terjadi, ia punya satu janji:
“Aku akan jadi ayah yang bicara. Ayah yang hadir. Ayah yang bilang ‘aku bangga padamu’, bahkan saat anakku jatuh.”
Karena ia tahu, satu kalimat itu bisa menyelamatkan dunia kecil seorang anak. Kalimat yang tak pernah ia dengar, tapi akan ia wariskan dengan sengaja.
“Ayahku tak pernah bangga padaku. Tapi aku bangga, karena aku bisa tumbuh menjadi diriku sendiri meski tanpa sorak-sorai dari orang yang paling aku harapkan.”